Biawwelil Hikaayaat.


Biawwelil Hikaayaat.
Sinar mentari masih terasa begitu hangat walaupun jam sudah menunjukkan pukul 09.30 WIB, setengah jam lagi bel akan berbunyi pertanda waktu istirahat sudah tiba, lalu murid – murid akan berhamburan keluar setelah mereka membaca do’a bersama yang terkadang terdengar tidak karuan, ada yang suaranya begitu lembek dan tidak bergairah, ada juga yang keras sampai – sampai suara teman – temannya sekelas tidak terdengar, ada juga yang biasa – biasa saja bahkan ada juga yang berdo’a sambil mulutnya menguap lebar.
Ustadz Tamam sesekali melihat jam tangannya untuk memastikan kurang berapa menit waktu istirahat akan tiba, satu jam lamanya dia berceramah dan menerangkan tentang salah satu teori Nahwu yang terdapat dalam Kalam Arab, sesekali dia menggunakan Bahasa Arab yang fasih dengan logat yang dicocok – cocokkan seperti orang Arab asli sehingga murid – murid yang tidak paham tentang nahwu semakin mengangguk – nganggukkan kepalanya karena dia sudah terbang tinggi ke alam mimpinya, ada juga yang langsung tiarap di belakang punggung temannya seperti tentara perang yang takut ketahuan oleh musuh sedangkan temannya yang di depan itu seperti benteng yang kokoh, dia berusaha untuk tidak roboh dengan menyanggah dagunya yang terasa begitu berat dengan kedua tangan walaupun kedua matanya sudah terpejam. Dari dua puluh lima siswa hanya empat orang yang masih belum tidur, yang satu duduk sendirian dibangku paling depan, lurus dengan bangku guru, tubuhnya yang tinggi itu duduk dengan tegap terkadang kedua matanya menyipit dan keningnya mengkerut sehingga hidungnya yang panjang seperti paruh burung beo itu kadang terlihat kembang kempis seiring suara nafasnya, dia bernama Jamaluddin yang sering di sebut onta arab oleh teman – temannya karena postur tubuh dan bentuk wajahnya seperti orang arab namun ada sebagian temannya yang mengatakan bahwa dia itu lebih mirip dengan orang India pedalaman karena kulitnya yang hitam legam serta rambut tipisnya yang agak keriting. Setiap pelajaran bahasa arab dia merupakan satu – satunya murid yang antusias mendengarkan keterangan – keterangan ustadz Tamam. Di barisan yang paling kanan dan bangku terdepan terlihat dua murid yang juga tidak tidur, kedua mata mereka terlihat masih berbinar mereka seakan tidak merasakan kejenuhan berada dalam kelas karena mulai jam pertama tadi pagi mereka sibuk  bermain sendiri, sesekali mereka memainkan bulpen mereka seperti orang mengadu ayam, sesekali mereka berbisik – bisik dan tersenyum bersama dan sesekali mereka bermain cubit – cubitan hingga membuat Ustadz Tamam menoleh pada mereka berdua, lalu seketika itu pula mereka terdiam seakan tidak terjadi apa – apa, setelah Ustadz Tamam menerangkan kembali merekapun juga mulai bermain kembali, mereka berdua bernama Mustaqim yang di duduk bersandar ke tembok dan di sampingnya bernama Mursyidi, mereka berdua di kenal dua sejoli yang kompak karena mulai kelas lima MI sampai MA kelas I di semester dua ini mereka duduk berdua di bagian depan barisan paling kanan. Dari segi bentuk tubuh mereka memiliki kesamaan yaitu sama – sama kurus sehingga mereka sering mendapatkan julukan Siraatol Mustaqim yang artinya jalan yang lurus, namun dari segi otak Mustaqim lebih cerdas dari Mursyidi karena ide – ide kreatif baik dalam masalah mereka berdua maupun masalah kelas sering keluar dari otak Mustaqim. Sedangkan satunya lagi duduk di pojok bangku paling kiri, dia duduk di bangku nomer tiga dari depan, sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok matanya menerawang ke atas langit – langit kelas yang terbuat dari semen cor yang warnanya masih asli warna semen, kedua matanya terus menerawang seakan mencari sesuatu, dia seakan tidak peduli pada tubuh besar di sampingnya yang sudah ambruk bagaikan pasukan jihad yang gugur syahid di medan peperangan, tubuh besar itu tidak mengeluarkan darah merah melainkan dari mulutnya yang menganga mengalir cairan putih yang mengkilap – kilap jika tertimpa sinar mentari. Dia bernama Ibnul Waraqi dialah murid yang di kenal sebagai pengkhayal nomer satu di kelasnya, dia selalu menghabiskan waktunya dengan mengkhayal dan melamun, kata – katanya terkadang di buat seperti raja yang bijaksana, kadang pula dia bagaikan sastrawan yang kesiangan. Sedangkan murid dengan badan besar yang sedang tidur pulas itu bernama Muhammad Samin, teman – temannya memanggilnya mat samin karena kata Muhammad terlalu indah bagi dia, sedangkan arti Samin sendiri adalah gemuk yang sesuai dengan tubuhnya yang gemuk, hingga dia lebih cocok di panggil mat samin. Menurut cerita nama aslinya itu Muhammad, karena tidak ada nama lanjutannya dan ini di anggap kurang baik maka teman – temannya menambahkan nama belakang yang sesuai dengan dirinya yaitu Samin yang artinya gemuk, dan dia terkenal dengan sebutan Mat Samin.
“tuuuuuuuuut…..” bel panjang berbunyi, tiba – tiba kelas menjadi gaduh ramai, tentara perang yang gugur di medan peperangan dengan bebagai macam pose itu serentak bangun karena mendengar bunyi bel tadi, ada yang menggeliat – geliat dan menggerakkan tubuhnya, ada yang masih menguap panjang, tubuh yang sedari tadi bertahan dengan kedua tangannya supaya tidak roboh seperti yang lain juga ikut menggeliat, dia rentangkan kedua tangannya yang terasa pegal itu ke udara lalu membengkokkan tubuhnya kebelakang dan menguap puas karena sudah tidur pagi selama kurang lebih dua jam setengah.
al jarass ya siihu wal faslu yataharraku # fa limadza jismus samiinu ma zaala yanaamu”[1] ucap Ibnu pelan dengan bergaya seperti seorang penyair sambil menepuk – nepuk tubuh Mat Samin yang masih tergolek dan mengeluarkan cairan putih dari mulutnya. Berulang – ulang dia ucapkan sya’ir yang tidak jelas baharnya itu sedangkan tubuh gemuk itu hanya menggeliat sedikit.
“tok…….tok…….tok” Ustadz Tamam mencoba mendiamkan suara gaduh yang berasal dari suara kitab – kitab yang sudah di tumpuk dan anak – anak yang berdo’a walaupun masih belum di perintah.
“ustadz…! Istirahat…..tadz…” teriak murid yang paling belakang.
sohih ya ustadz..haqqaon ana jaai’…”[2] timpal Jamal sambil menganggukkan kepalanya seperti anak kecil.
Ustadz Tamam hanya tersenyum sedikit melihat tingkah laku murid – muridnya itu, lalu dia mengangkat tangannya sebagai isyarat agar mereka diam. Dan merekapun diam karena kalau sudah begitu mereka paham bahwa Ustadz Tamam mempunyai sesuatu yang akan di sampaikan jika mereka tidak diam merekalah yang akan menerima akibatnya karena Ustadz Tamam akan marah dan akan menghukum mereka semua.
“indi khabarun jadiid...”[3] ucap tad Tamam pelan sambil menarik nafas dan bersiap – siap memulai perkataan yang ingin beliau sampaikan pada murid – muridnya itu.
“bil Indonesi ustadz, al waqt mudhayyaq....”[4] teriak murid yang belakang.
“la..., lazim bil arabiah....” timpal jamal dari depan.
“hai kalian ini bagaimana...yang jadi pemimpin disini Ustadz Tamam, masak Ustad Tamam di politisir begitu...ya terserah beliau mau menyampaikan pakek bahasa Indonesia atau bahasa arab....itu haknya beliau” teriak Mustaqim sambil berdiri dan melihat teman – temannya.
“saudara – saudara saya harap kalian diam amarah dan nafsu tidak akan meredakan pertikaian” sambung Ibnu yang di sambut dengan suara sorak dari teman – temannya, karena gaya bicaranya yang dibuat seperti raja yang bijaksana.
“diam...diam...beri saya waktu sebentar untuk berbicara.....” teriak Ustad Tamam sambil mengetok – ngetokkan penghapus di bangku guru. Dan murid – murid itu pun diam tak bersuara. Lalu Ustad Tamam menyampaikan apa yang ingin beliau sampaikan dari tadi,
“ada hal baru yang ingin saya sampaikan namun sebelum itu saya sampaikan bahwa setelah ini kalian boleh langsung pulang ke pondok masing – masing”
“horeeeeee.....” perkataan Ustad Tamam yang belum selesai itu langsung di sambut dengan jeritan – jeritan kegembiraan dari anak didiknya. Mat Samin yang sedari tidur, tiba – tiba terbangun.
“Nu...! ada apa ...” tanya Mat Samin sambil menatap Ibnu yang santai – santai saja walaupun teman yang lainnya sudah histeris.
“tenang bro...tu bersiin dulu cairannya....” ucap Ibnu pelan.
“o..iya Nu....maaf Nu....,tadi aku mimpi makan ayam panggang, aduh.. lezat sekali Nu....” jawab Mat Samin sambil sibuk mengelap cairannya dengan ujung bajunya.
“jadi...kamu ngiler karena melihat ayam panggang di mimpimu itu.....” tanya Ibnu dengan mata mendelik.
“bukan Nu.....itu sih biasa....” jawab Mat Samin dengan senyum penuh arti.
“memangnya karena apa kamu sampek ngiler gitu....” tanya Ibnu penasaran.
“aku mimpi melihat Mbak Sri penjual nasi di belakang pondok habis mandi di kali....adu Nu bodinya itu membuatku jantungku berhenti berdetak.....” ucap Mat Samin sambil membayangkan apa yang di lihatnya dalam mimpinya tadi.
“oh....Tuhan
Alangkah malang sang penyamun.....
Duduk bersanding dengan tubuh yang tambun...
Yang sesak dengan makanan penuh racun....
Sehingga dia kerjanya hanya tidur....
Menganga sambil mengeluarkan air liur......” dengan gayanya yang khas Ibnu membacakan bait – bait syair untuk Mat Samin.
“ha....sudah – sudah aku bosan mendengarkan syair – syairmu yang gak karuan itu, oh iya  Nu...mengapa mereka senang sekali....” tanya Mat Samin penasaran
relax bro...setelah ini langsung pulang....” jawab Ibnu enteng.
“apa....pulang....oh hatiku senang sekali”. teriak Mat Samin menirukan gaya Ibnu.
“hai....diam...diam...,Samin...!mulai tadi pagi kamu tidur dan setelah mendengar kata pulang...kamu histeris kayak orang kesurupan ” bentak ustadz Tamam.
“wah...kok cuman aku Nu...yang di marahin....” bisik Samin pada Ibnu.
“o...biasa bro... orang besarkan terpandang...,sehingga orang besar jika berbuat kesalahan sekecil apapun akan lekas ketahuan...”tukas Ibnu sok tahu.
“o..gitu ya Nu..., berarti gak enak juga ya jadi orang besar.....” ucap samin, lugu.
“ya...apa lagi orang yang besar perut dan mulut kayak kamu ini...”ucap Ibnu sambil ngakak melihat temannya itu sewot mendengar kata – katanya tadi.
“Ibnu....Samin....” tegur Ustadz Tamam.
na’am ustadz....” jawab mereka serempak lalu diam. Dan Ustadz Tamam melanjutkan perkataannya yang sempat terpotong tadi.
“begini anak – anak kalian harus dengarkan informasi ini dengan baik – baik kalau tidak saya akan pulangkan kalian nanti jam satu siang, fahimtuuum.....” gertak tad Tamam.
fahimna ya ustadz......” jawab mereka serempak lalu suasanapun menjadi sunyi senyap.
“begini...kalian ini sudah kelas satu Aliah yang mana seharusnya kalian harus lebih dewasa dari adek – adek kelas kalian, apalagi kelas ini adalah kelas khusus, kelas yang di pilih oleh Pengasuh atau kiai sepuh sebagai bibit untuk menjadikan sekolah kita menjadi sekolah yang berbasis internasiaonal yang di kenal denga RSBI (Rancangan Sekolah Berbasis Internasional), bahkan beliau sudah memberi nama kelas ini menjadi kelas Bilingual yang dengan artian di dalam kelas komunikasinya harus menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris, namun para guru kecewa pada kalian semua karena sampai semester dua ini sikap dan kemampuan kalian tidak berubah bahkan lebih parah dari kelas – kelas lain. Setiap hari kalian kerjanya di kelas cuman tidur terus, Bahasa Arab sudah tidak mampu apalagi Bahasa Inggrisnya sudah tidak karuan, itupun masih di tambah ketidak aktifan sebagian dari teman – teman kalian. Kami segenap guru merasa malu pada pengasuh, terutama saya sebagai wali kelas merasa tidak sanggup lagi mendidik kalian ini walaupun hati kecil saya mengatakan bahwa sebenarnya kalian adalah anak – anak yang baik akan tetapi terlalu kreatif dalam belajar” sejenak Ustadz Tamam menghentikan perkataannya, dia melihat semua muridnya tertunduk malu, tidak ada yang berani mengangkat kepala apalagi berisik. Setelah menghirup nafas dalam - dalam ustadz Tamam meneruskan perkataannya.
“nanti ada rapat guru yang akan membahas dan mengevaluasi kelas ini, apakah kalian ada sesuatu yang mau di usulkan demi kemajuan sekolah terutama kelas kita yang tercinta ini...?” tanya Ustad Tamam pada segenap anak didiknya yang masih menundukkan kepalanya.
Tidak ada yang berani yang berbicara apalagi mengangkat tangannya untuk memberikan usulan pada Ustad Tamam, semua mulut mereka seakan terbungkam sehingga suasana kelas terasa sunyi senyap bagaikan kuburan. Seandainya ada satu jarum jatuh dan membentur lantai pasti akan membuyarkan keheningan kelas ini. Tiba – tiba di pojok kanan Mustaqim mengacungkan tangannya, sehingga semua matapun memandang padanya.
“silahkan Mustaqim kalau kamu mempunyai pendapat, yang mana pendapat itu bisa  saya ajukan nanti ketika rapat....” ucap Ustadz Tamam dengan lemah lembut.
“bagaimana kalau kelas ini di isi dengan santri putri yang sama – sama kelas satu Aliah....”ucap Mustaqim dengan mantap.
Pendapat itu seakan sudah lama bersarang di otaknya sehingga dia tidak gugup ataupun ragu ketika menyampaikan pendapat yang aneh tadi dan kelihatannya Mustaqim serius sekali dengan pendapatnya itu. Mata teman – temannya yang sedari tadi memandangnya kini di iringi dengan mulut – mulut mereka yang terperangah, merekapun saling berpandangan satu sama lain sambil berbisik – bisik yang tidak jelas, bahkan ada yang tertawa terbahak – bahak, ada yang langsung meneriakkan kata setuju, ada juga yang menghinanya bahkan menyumpahinya dengan sumpah serapah, suasana kelas menjadi ramai dan gaduh sedangakan Ustadz Tamam hanya mengernyitkan dahinya lalu beliau mengangkat tangannya sebagai isyarat bahwa murid – murid harus diam namun kondisi kelas sudah tidak bisa di kendalikan, bahkan sekarang mereka bicara sendiri – sendiri.
al mar’atu madinatul fitnah”teriak jamal dengan sangat lantang sekali.
“hai onta arab..... anta sok naif akhi ...., kalau memang bukan fitnahnya lalu apa lagi yang bisa diharapkan dari seorang wanita, ha...ha...ha...” teriak Januar sambil tertawa, Januar adalah murid yang terkenal bandel di kelas Bilingual. Tapi walaupun bandel dia adalah anak yang cerdas sehingga kepala sekolah sendiri yang menentukan bahwa dia harus masuk kelas Bilingual. Bahkan dia termasuk murid yang paling istimewa dari pada yang lain karena dialah satu – satunya murid yang masuk kelas Bilingual tanpa seleksi sedangkan yang lain harus mengikuti tes. Kelaspun semakin ramai bahkan kini semua menertawakan kata – kata Jamal barusan
“wanita memang madinatul fitnah dan mereka memang racun dunia...tapi kalau tidak ada fitnah untuk apa orang – orang bijak yang akan menentramkan jiwa kita dengan nasihat – nasihatnya terlahir kedunia ini, dan kalau tidak ada racun buat apa obat racun di ciptakan....betul.....?” teriak Mursyidi dengan senyum yang penuh arti pada Mustaqim, sedangkan Mustaqim hanya tersenyum kecil melihat sahabatnya sok tahu itu.
“betul.......” jawab sebagian murid – murid dengan mengepalkan tangannya.
“hai tunggu dulu...tunggu dulu.....” tiba – tiba Mat Samin berbicara sambil berdiri menghadap teman – temannya dan merentangkakan kedua tangannya pada mereka.
“hai tebo...tidur aja kamu sambil ngiler.....” ucap Januar dengan nada tidak suka pada sikap Mat Samin itu.
“ya...ya..ya...aku memang suka tidur, tapi aku tidak seperti kalian yang tidak pernah menghormati guru sebagai pimpinan di kelas ini..., tidakkah kalian fikirkan bagaimana perasaan beliau ketika melihat murid – muridnya berdebat dengan seenaknya sendiri dan saling menghujat dan melontarkan kata – kata kotor...beliau telah meluangkan waktunya hanya untuk mendidik kita menjadi orang soleh tapi...apa yang beliau dapat dari kita..., kita tidak pernah mengharga beliau selaku orang tua dan pimpinan di kelas ini” pidato Mat Samin tadi disambut dengan berbagai macam ekspresi dari teman – temannya, ada yang bengong melihatnya dengan mata tak berkedip, ada yang mencibir, ada yang tersenyum kecut tapi ada yang sampek merasa terharu mendengarkan pidato Mat Samin itu.
“hai kenapa kok seperti orang yang mau menangis.....” tegur seorang murid pada temannya yang sedang melihat Mat Samin dengan pandangan iba, sampai – sampai dia memiringkan kepalanya dan matanya berkaca – kaca.
“aku cuman kasihan pada teman kita itu..., alangkah berat hidup yang dia jalani dengan tubuh sebesar itu....”ucap murid yang di tegur tadi dengan nada yang di buat sedih. Sedangkan Mat Samin dia langsung duduk setelah memberikan mauidhotul hasanah pada teman – temannya dan tidak memperdulikan apa yang di gunjingkan teman – temannya di belakang.
“tok...tok....tok....” ustadz Tamam yang sedari tadi membiarkan murid – muridnya berdebat dengan saling menghujat tiba – tiba dia memukul meja guru dengan penghapus tiga kali, dia bagaikan hakim yang akan memutuskan perkara sidang yang penuh dengan pertentangan antara kedua belah pihak. Kelaspun menjadi sepi kembali, sejenak ustadz Tamam melihat jam tangannya lalu dia memandang murid – murid yang luar biasa itu dan berkata;
“apa yang kalian lakukan sudah kelewat batas, dan akibatnya pulang cepat sudah tertunda lima belas menit...” ucap ustadz Tamam, santai.
“yaaaaaah....” lenguh murid – murid.
“dengar....setiap orang berhak mengajukan pendapat di dalam forum dan kalian harus mengormati dan menghargai pendapat orang lain karena kalian sendiri belum tentu bisa mempunyai pendapat seperti dia serta aku percaya... bahwa Mustaqim yang mempunyai pendapat tadi tidak main – main dengan pendapatnya itu dan aku yakin sebelumnya pendapat itu sudah dipikirkan dengan baik – baik sehingga pendapat tadi mempunyai alasan yang logis sehingga hal itu bisa saya bawa ke rapat evaluasi nanti, silahkan Mustaqim apa alasan dari pendapatmu tadi....”. kata – kata ustadz Tamam tadi membuat kepala murid – muridnya terangguk – angguk dan kini mata mereka memandang Mustaqim dengan penuh rasa penasaran apa yang akan di ucapkannya atas permintaan ustadz Tamam tadi. Mustaqim yang merasa di awasi terlihat santai – santai saja, setelah memperbaiki posisi duduknya lalu dia mengambil ancang – ancang untuk berbicara.
“ he...begini ustadz...., sebenarnya apa yang di katakan teman – teman tadi itu benar, akan tetapi pandangan mereka itu hanya mengarah pada diri wanita saja, yang di simbolkan sebagai pusatnya fitnah, racun dunia dan sebagainya, dan arah dari pendapat saya tadi itu adalah bukan hanya pada diri wanita saja melainkan juga pada peran wanita terhadap lingkungannya, komunitasnya, organisasinya, negaranya bahkan Agamanya. Sedangkan kita tahu wanita walaupun dia sebagai pribadi yang lemah dan terbatang ruang geraknya dari pada laki – laki akan tetapi wanita juga mempunyai peranan penting dalam kehidupan ini.  Dan saya fikir kalau dalam kelas ini terdapat siswinya maka Mat Samin yang ada di sana itu tidak akan berani lagi tidur atau ngiler di kelas karena dia akan malu di lihat cewek – cewek, dan Januar yang sok jago itu akan malu jika bertindak semenah – menah di hadapan para siswi, serta Ibnu yang ada di pojok sana, dia sang penyair kesiangan tidak akan pernah lagi berangkat kesekolah hanya dengan mencuci mukanya dengan air kran melainkan dia akan mandi setiap berangkat kesekolah. Dan terkhir... perlu pak ustadz ketahui saya yakin dengan hadirnya siswi di kelas ini kami pasti akan menjadi murid – murid yang rajin....”
“iya rajin pacaran...tok” potong Jamal sehingga membuat murid – murid tertawa dan ustadz Tamampun juga tersenyum kecil.
“hei...onta arab...tahu akhlak dong..., kalau orang sedang berbicara itu jangan di potong...he..tak celup mukamu itu jadi putih tahu rasa kamu.....” geram Mursyidi melihat perkataan temannya tadi di potong begitu saja.
“sssst...sudah...sudah..sekarang aku sudah paham apa maksud dari pendapat Mustaqim tadi, untuk sementara waktu aku fikirkan dulu dan InsyaAllah aku akan ajukan nanti di rapat. Wallahu Ta’ala A’lam”.
   Setelah berdo’a seperti biasa akhirnya ustadz Tamam mengucapkan salam lalu dia meninggalkan kelas dan di iringi siswa – siswanya yang aneh dan luar biasa itu. Di bilang aneh karena usia mereka sudah melebihi usia anak kelas SMA atau MA melainkan mereka bisa di katakan usia mereka sebenarnya usia mahasiswa atau sarjana S1, di bilang luar biasa mereka sebenarnya mempunyai bakat dan potensi yang luar biasa jika di kembangkan. Seperti Mustaqim si otak encer yang penuh dengan ide – ide aneh, Mursyidi sipemberani yang selalu menentang arus, tidak peduli berapa kali dia masuk BP dan mendapatkan peringatan tegas karena sering terlambat, Jamaluddin, murid yang mempunyai julukan onta arab ini adalah murid yang paling alim dan mulu’, dia tidak suka jika teman – temannya membicarakan hal – hal yang berbau maksiat sehingga dia selalu sendiri dan sering menghabiskan waktunya di congkop ataupun musholla, bahkan di kelas dia duduk sendiri, sampai – sampai salah satu guru mengatakan bahwa Jamaluddin ini sudah mencapai pada tingkatan maqom tajrid. Muhammad Samin, badannya yang tambun seperti anak gajah sehingga dia mempunyai sifat pemalas dan sering tidur dan ngiler di kelas, tapi kalau dia sedang  sadar sikapnya begitu bijaksana, dia akan berbicara seolah – olah dia adalah seorang sufi atau darwis yang sedang memberikan nasihat pada murid – muridnya. Ibnul Waraqi, sang penyair atau sastrawan kesiangan yang selalu menghabiskan waktunya dengan duduk berdiam sendiri dan fikirannya akan mengkhayal kemana – mana, setelah itu dia akan menulis sebuah sya’ir atau puisi ataupun cerita dari apa yang dia dapat dari khayalannya itu, tapi sayang dia tidak pernah mandi ketika berangkat ke sekolah, paling tidak dia akan mengusap mukanya yang habis tidur dengan air lalu berangkat kesekolah tanpa merasa berdosa, menurut dia biar diri ini menyatu dengan alam karena merias hidup di dunia ini adalah derita yang berkepanjangan, hanya menyatu dengan alamlah kita bisa merasa damai dan tentram. Itulah kata – kata yang sering di ucapkan Ibnu ketika ada teman atau gurunya mengatakan dia bau seperti bau terasi gosong.
Rosi-Farobi



[1] الجرس يصيح و الفصل يتحرك # فلماذ الجسم السمين ما زال ينام  (bel menjerit keras dan kelas begerak – gerak lalu mengapa tubuh gemuk ini masih tidur terlelap)
[2] Benar…ustadz saya lapar nii!
[3] Saya mempunyai kabar baru.
[4] Dengan bahasa Indonesia saja ustadz karena waktu sudah mepet.