Biawwelil
Hikaayaat.

Ustadz
Tamam sesekali melihat jam tangannya untuk memastikan kurang berapa menit waktu
istirahat akan tiba, satu jam lamanya dia berceramah dan menerangkan tentang salah
satu teori Nahwu yang terdapat dalam Kalam Arab, sesekali dia menggunakan
Bahasa Arab yang fasih dengan logat yang dicocok – cocokkan seperti orang Arab
asli sehingga murid – murid yang tidak paham tentang nahwu semakin mengangguk –
nganggukkan kepalanya karena dia sudah terbang tinggi ke alam mimpinya, ada
juga yang langsung tiarap di belakang punggung temannya seperti tentara perang
yang takut ketahuan oleh musuh sedangkan temannya yang di depan itu seperti
benteng yang kokoh, dia berusaha untuk tidak roboh dengan menyanggah dagunya
yang terasa begitu berat dengan kedua tangan walaupun kedua matanya sudah
terpejam. Dari dua puluh lima siswa hanya empat orang yang masih belum tidur,
yang satu duduk sendirian dibangku paling depan, lurus dengan bangku guru,
tubuhnya yang tinggi itu duduk dengan tegap terkadang kedua matanya menyipit
dan keningnya mengkerut sehingga hidungnya yang panjang seperti paruh burung
beo itu kadang terlihat kembang kempis seiring suara nafasnya, dia bernama
Jamaluddin yang sering di sebut onta arab oleh teman – temannya karena
postur tubuh dan bentuk wajahnya seperti orang arab namun ada sebagian temannya
yang mengatakan bahwa dia itu lebih mirip dengan orang India pedalaman karena
kulitnya yang hitam legam serta rambut tipisnya yang agak keriting. Setiap
pelajaran bahasa arab dia merupakan satu – satunya murid yang antusias
mendengarkan keterangan – keterangan ustadz Tamam. Di barisan yang paling kanan
dan bangku terdepan terlihat dua murid yang juga tidak tidur, kedua mata mereka
terlihat masih berbinar mereka seakan tidak merasakan kejenuhan berada dalam
kelas karena mulai jam pertama tadi pagi mereka sibuk bermain sendiri, sesekali mereka memainkan
bulpen mereka seperti orang mengadu ayam, sesekali mereka berbisik – bisik dan
tersenyum bersama dan sesekali mereka bermain cubit – cubitan hingga membuat Ustadz
Tamam menoleh pada mereka berdua, lalu seketika itu pula mereka terdiam seakan
tidak terjadi apa – apa, setelah Ustadz Tamam menerangkan kembali merekapun juga
mulai bermain kembali, mereka berdua bernama Mustaqim yang di duduk bersandar
ke tembok dan di sampingnya bernama Mursyidi, mereka berdua di kenal dua sejoli
yang kompak karena mulai kelas lima MI sampai MA kelas I di semester dua ini
mereka duduk berdua di bagian depan barisan paling kanan. Dari segi bentuk
tubuh mereka memiliki kesamaan yaitu sama – sama kurus sehingga mereka sering
mendapatkan julukan Siraatol Mustaqim yang artinya jalan yang lurus,
namun dari segi otak Mustaqim lebih cerdas dari Mursyidi karena ide – ide
kreatif baik dalam masalah mereka berdua maupun masalah kelas sering keluar
dari otak Mustaqim. Sedangkan satunya lagi duduk di pojok bangku paling kiri,
dia duduk di bangku nomer tiga dari depan, sambil menyandarkan tubuhnya ke
tembok matanya menerawang ke atas langit – langit kelas yang terbuat dari semen
cor yang warnanya masih asli warna semen, kedua matanya terus menerawang seakan
mencari sesuatu, dia seakan tidak peduli pada tubuh besar di sampingnya yang
sudah ambruk bagaikan pasukan jihad yang gugur syahid di medan peperangan,
tubuh besar itu tidak mengeluarkan darah merah melainkan dari mulutnya yang
menganga mengalir cairan putih yang mengkilap – kilap jika tertimpa sinar
mentari. Dia bernama Ibnul Waraqi dialah murid yang di kenal sebagai pengkhayal
nomer satu di kelasnya, dia selalu menghabiskan waktunya dengan mengkhayal dan
melamun, kata – katanya terkadang di buat seperti raja yang bijaksana, kadang
pula dia bagaikan sastrawan yang kesiangan. Sedangkan murid dengan badan besar
yang sedang tidur pulas itu bernama Muhammad Samin, teman – temannya
memanggilnya mat samin karena kata Muhammad terlalu indah bagi dia,
sedangkan arti Samin sendiri adalah gemuk yang sesuai dengan tubuhnya yang
gemuk, hingga dia lebih cocok di panggil mat samin. Menurut cerita nama
aslinya itu Muhammad, karena tidak ada nama lanjutannya dan ini di anggap
kurang baik maka teman – temannya menambahkan nama belakang yang sesuai dengan
dirinya yaitu Samin yang artinya gemuk, dan dia terkenal dengan sebutan Mat
Samin.
“tuuuuuuuuut…..”
bel panjang berbunyi, tiba – tiba kelas menjadi gaduh ramai, tentara perang
yang gugur di medan peperangan dengan bebagai macam pose itu serentak bangun
karena mendengar bunyi bel tadi, ada yang menggeliat – geliat dan menggerakkan
tubuhnya, ada yang masih menguap panjang, tubuh yang sedari tadi bertahan
dengan kedua tangannya supaya tidak roboh seperti yang lain juga ikut
menggeliat, dia rentangkan kedua tangannya yang terasa pegal itu ke udara lalu
membengkokkan tubuhnya kebelakang dan menguap puas karena sudah tidur pagi
selama kurang lebih dua jam setengah.
“al
jarass ya siihu wal faslu yataharraku # fa limadza jismus samiinu ma zaala
yanaamu”[1]
ucap Ibnu pelan dengan bergaya seperti seorang penyair sambil menepuk – nepuk
tubuh Mat Samin yang masih tergolek dan mengeluarkan cairan putih dari
mulutnya. Berulang – ulang dia ucapkan sya’ir yang tidak jelas baharnya
itu sedangkan tubuh gemuk itu hanya menggeliat sedikit.
“tok…….tok…….tok”
Ustadz Tamam mencoba mendiamkan suara gaduh yang berasal dari suara kitab –
kitab yang sudah di tumpuk dan anak – anak yang berdo’a walaupun masih belum di
perintah.
“ustadz…!
Istirahat…..tadz…” teriak murid yang paling belakang.
“sohih
ya ustadz..haqqaon ana jaai’…”[2]
timpal Jamal sambil menganggukkan kepalanya seperti anak kecil.
Ustadz
Tamam hanya tersenyum sedikit melihat tingkah laku murid – muridnya itu, lalu
dia mengangkat tangannya sebagai isyarat agar mereka diam. Dan merekapun diam
karena kalau sudah begitu mereka paham bahwa Ustadz Tamam mempunyai sesuatu
yang akan di sampaikan jika mereka tidak diam merekalah yang akan menerima
akibatnya karena Ustadz Tamam akan marah dan akan menghukum mereka semua.
“indi khabarun jadiid...”[3] ucap tad Tamam pelan sambil menarik nafas dan bersiap –
siap memulai perkataan yang ingin beliau sampaikan pada murid – muridnya itu.
“bil Indonesi ustadz, al waqt mudhayyaq....”[4] teriak murid yang belakang.
“la..., lazim bil arabiah....” timpal jamal dari depan.
“hai kalian ini bagaimana...yang jadi pemimpin disini Ustadz
Tamam, masak Ustad Tamam di politisir begitu...ya terserah beliau mau
menyampaikan pakek bahasa Indonesia atau bahasa arab....itu haknya beliau”
teriak Mustaqim sambil berdiri dan melihat teman – temannya.
“saudara – saudara saya harap kalian diam amarah dan
nafsu tidak akan meredakan pertikaian” sambung Ibnu yang di sambut dengan suara
sorak dari teman – temannya, karena gaya bicaranya yang dibuat seperti raja
yang bijaksana.
“diam...diam...beri saya waktu sebentar untuk berbicara.....”
teriak Ustad Tamam sambil mengetok – ngetokkan penghapus di bangku guru. Dan
murid – murid itu pun diam tak bersuara. Lalu Ustad Tamam menyampaikan apa yang
ingin beliau sampaikan dari tadi,
“ada hal baru yang ingin saya sampaikan namun sebelum itu
saya sampaikan bahwa setelah ini kalian boleh langsung pulang ke pondok masing
– masing”
“horeeeeee.....” perkataan Ustad Tamam yang belum selesai
itu langsung di sambut dengan jeritan – jeritan kegembiraan dari anak didiknya.
Mat Samin yang sedari tidur, tiba – tiba terbangun.
“Nu...! ada apa ...” tanya Mat Samin sambil menatap Ibnu
yang santai – santai saja walaupun teman yang lainnya sudah histeris.
“tenang bro...tu bersiin dulu cairannya....” ucap Ibnu
pelan.
“o..iya Nu....maaf Nu....,tadi aku mimpi makan ayam
panggang, aduh.. lezat sekali Nu....” jawab Mat Samin sambil sibuk mengelap
cairannya dengan ujung bajunya.
“jadi...kamu ngiler karena melihat ayam panggang di
mimpimu itu.....” tanya Ibnu dengan mata mendelik.
“bukan Nu.....itu sih biasa....” jawab Mat Samin dengan
senyum penuh arti.
“memangnya karena apa kamu sampek ngiler gitu....” tanya
Ibnu penasaran.
“aku mimpi melihat Mbak Sri penjual nasi di belakang
pondok habis mandi di kali....adu Nu bodinya itu membuatku jantungku berhenti
berdetak.....” ucap Mat Samin sambil membayangkan apa yang di lihatnya dalam
mimpinya tadi.
“oh....Tuhan
Alangkah malang sang penyamun.....
Duduk bersanding dengan tubuh yang tambun...
Yang sesak dengan makanan penuh racun....
Sehingga dia kerjanya hanya tidur....
Menganga sambil mengeluarkan air liur......” dengan gayanya yang khas Ibnu membacakan bait – bait
syair untuk Mat Samin.
“ha....sudah – sudah aku bosan mendengarkan syair –
syairmu yang gak karuan itu, oh iya Nu...mengapa mereka senang sekali....” tanya
Mat Samin penasaran
“relax bro...setelah ini langsung pulang....”
jawab Ibnu enteng.
“apa....pulang....oh hatiku senang sekali”. teriak Mat
Samin menirukan gaya Ibnu.
“hai....diam...diam...,Samin...!mulai tadi pagi kamu
tidur dan setelah mendengar kata pulang...kamu histeris kayak orang kesurupan ”
bentak ustadz Tamam.
“wah...kok cuman aku Nu...yang di marahin....” bisik
Samin pada Ibnu.
“o...biasa bro... orang besarkan terpandang...,sehingga
orang besar jika berbuat kesalahan sekecil apapun akan lekas ketahuan...”tukas
Ibnu sok tahu.
“o..gitu ya Nu..., berarti gak enak juga ya jadi orang
besar.....” ucap samin, lugu.
“ya...apa lagi orang yang besar perut dan mulut kayak
kamu ini...”ucap Ibnu sambil ngakak melihat temannya itu sewot mendengar kata –
katanya tadi.
“Ibnu....Samin....” tegur Ustadz Tamam.
“na’am ustadz....” jawab mereka serempak lalu
diam. Dan Ustadz Tamam melanjutkan perkataannya yang sempat terpotong tadi.
“begini anak – anak kalian harus dengarkan informasi ini
dengan baik – baik kalau tidak saya akan pulangkan kalian nanti jam satu siang,
fahimtuuum.....” gertak tad Tamam.
“fahimna ya ustadz......” jawab mereka serempak
lalu suasanapun menjadi sunyi senyap.
“begini...kalian ini sudah kelas satu Aliah yang mana
seharusnya kalian harus lebih dewasa dari adek – adek kelas kalian, apalagi
kelas ini adalah kelas khusus, kelas yang di pilih oleh Pengasuh atau kiai
sepuh sebagai bibit untuk menjadikan sekolah kita menjadi sekolah yang berbasis
internasiaonal yang di kenal denga RSBI (Rancangan Sekolah Berbasis
Internasional), bahkan beliau sudah memberi nama kelas ini menjadi kelas
Bilingual yang dengan artian di dalam kelas komunikasinya harus menggunakan
bahasa Arab dan bahasa Inggris, namun para guru kecewa pada kalian semua karena
sampai semester dua ini sikap dan kemampuan kalian tidak berubah bahkan lebih
parah dari kelas – kelas lain. Setiap hari kalian kerjanya di kelas cuman tidur
terus, Bahasa Arab sudah tidak mampu apalagi Bahasa Inggrisnya sudah tidak
karuan, itupun masih di tambah ketidak aktifan sebagian dari teman – teman
kalian. Kami segenap guru merasa malu pada pengasuh, terutama saya sebagai wali
kelas merasa tidak sanggup lagi mendidik kalian ini walaupun hati kecil saya
mengatakan bahwa sebenarnya kalian adalah anak – anak yang baik akan tetapi
terlalu kreatif dalam belajar” sejenak Ustadz Tamam menghentikan perkataannya,
dia melihat semua muridnya tertunduk malu, tidak ada yang berani mengangkat
kepala apalagi berisik. Setelah menghirup nafas dalam - dalam ustadz Tamam
meneruskan perkataannya.
“nanti ada rapat guru yang akan membahas dan mengevaluasi
kelas ini, apakah kalian ada sesuatu yang mau di usulkan demi kemajuan sekolah
terutama kelas kita yang tercinta ini...?” tanya Ustad Tamam pada segenap anak
didiknya yang masih menundukkan kepalanya.
Tidak ada yang berani yang berbicara apalagi mengangkat
tangannya untuk memberikan usulan pada Ustad Tamam, semua mulut mereka seakan
terbungkam sehingga suasana kelas terasa sunyi senyap bagaikan kuburan.
Seandainya ada satu jarum jatuh dan membentur lantai pasti akan membuyarkan
keheningan kelas ini. Tiba – tiba di pojok kanan Mustaqim mengacungkan
tangannya, sehingga semua matapun memandang padanya.
“silahkan Mustaqim kalau kamu mempunyai pendapat, yang
mana pendapat itu bisa saya ajukan nanti
ketika rapat....” ucap Ustadz Tamam dengan lemah lembut.
“bagaimana kalau kelas ini di isi dengan santri putri
yang sama – sama kelas satu Aliah....”ucap Mustaqim dengan mantap.
Pendapat itu seakan sudah lama bersarang di otaknya
sehingga dia tidak gugup ataupun ragu ketika menyampaikan pendapat yang aneh
tadi dan kelihatannya Mustaqim serius sekali dengan pendapatnya itu. Mata teman
– temannya yang sedari tadi memandangnya kini di iringi dengan mulut – mulut
mereka yang terperangah, merekapun saling berpandangan satu sama lain sambil
berbisik – bisik yang tidak jelas, bahkan ada yang tertawa terbahak – bahak,
ada yang langsung meneriakkan kata setuju, ada juga yang menghinanya bahkan
menyumpahinya dengan sumpah serapah, suasana kelas menjadi ramai dan gaduh
sedangakan Ustadz Tamam hanya mengernyitkan dahinya lalu beliau mengangkat
tangannya sebagai isyarat bahwa murid – murid harus diam namun kondisi kelas
sudah tidak bisa di kendalikan, bahkan sekarang mereka bicara sendiri – sendiri.
“al mar’atu madinatul fitnah”teriak jamal dengan
sangat lantang sekali.
“hai onta arab..... anta sok naif akhi ....,
kalau memang bukan fitnahnya lalu apa lagi yang bisa diharapkan dari seorang wanita,
ha...ha...ha...” teriak Januar sambil tertawa, Januar adalah murid yang
terkenal bandel di kelas Bilingual. Tapi walaupun bandel dia adalah anak yang
cerdas sehingga kepala sekolah sendiri yang menentukan bahwa dia harus masuk
kelas Bilingual. Bahkan dia termasuk murid yang paling istimewa dari pada yang
lain karena dialah satu – satunya murid yang masuk kelas Bilingual tanpa
seleksi sedangkan yang lain harus mengikuti tes. Kelaspun semakin ramai bahkan
kini semua menertawakan kata – kata Jamal barusan
“wanita memang madinatul fitnah dan mereka memang
racun dunia...tapi kalau tidak ada fitnah untuk apa orang – orang bijak yang
akan menentramkan jiwa kita dengan nasihat – nasihatnya terlahir kedunia ini,
dan kalau tidak ada racun buat apa obat racun di ciptakan....betul.....?”
teriak Mursyidi dengan senyum yang penuh arti pada Mustaqim, sedangkan Mustaqim
hanya tersenyum kecil melihat sahabatnya sok tahu itu.
“betul.......” jawab sebagian murid – murid dengan
mengepalkan tangannya.
“hai tunggu dulu...tunggu dulu.....” tiba – tiba Mat
Samin berbicara sambil berdiri menghadap teman – temannya dan merentangkakan
kedua tangannya pada mereka.
“hai tebo...tidur aja kamu sambil ngiler.....” ucap
Januar dengan nada tidak suka pada sikap Mat Samin itu.
“ya...ya..ya...aku memang suka tidur, tapi aku tidak
seperti kalian yang tidak pernah menghormati guru sebagai pimpinan di kelas
ini..., tidakkah kalian fikirkan bagaimana perasaan beliau ketika melihat murid
– muridnya berdebat dengan seenaknya sendiri dan saling menghujat dan
melontarkan kata – kata kotor...beliau telah meluangkan waktunya hanya untuk
mendidik kita menjadi orang soleh tapi...apa yang beliau dapat dari kita...,
kita tidak pernah mengharga beliau selaku orang tua dan pimpinan di kelas ini” pidato
Mat Samin tadi disambut dengan berbagai macam ekspresi dari teman – temannya,
ada yang bengong melihatnya dengan mata tak berkedip, ada yang mencibir, ada
yang tersenyum kecut tapi ada yang sampek merasa terharu mendengarkan pidato
Mat Samin itu.
“hai kenapa kok seperti orang yang mau menangis.....”
tegur seorang murid pada temannya yang sedang melihat Mat Samin dengan
pandangan iba, sampai – sampai dia memiringkan kepalanya dan matanya berkaca –
kaca.
“aku cuman kasihan pada teman kita itu..., alangkah berat
hidup yang dia jalani dengan tubuh sebesar itu....”ucap murid yang di tegur
tadi dengan nada yang di buat sedih. Sedangkan Mat Samin dia langsung duduk
setelah memberikan mauidhotul hasanah pada teman – temannya dan
tidak memperdulikan apa yang di gunjingkan teman – temannya di belakang.
“tok...tok....tok....” ustadz Tamam yang sedari tadi
membiarkan murid – muridnya berdebat dengan saling menghujat tiba – tiba dia
memukul meja guru dengan penghapus tiga kali, dia bagaikan hakim yang akan
memutuskan perkara sidang yang penuh dengan pertentangan antara kedua belah
pihak. Kelaspun menjadi sepi kembali, sejenak ustadz Tamam melihat jam
tangannya lalu dia memandang murid – murid yang luar biasa itu dan berkata;
“apa yang kalian lakukan sudah kelewat batas, dan
akibatnya pulang cepat sudah tertunda lima belas menit...” ucap ustadz Tamam,
santai.
“yaaaaaah....” lenguh murid – murid.
“dengar....setiap orang berhak mengajukan pendapat di
dalam forum dan kalian harus mengormati dan menghargai pendapat orang lain
karena kalian sendiri belum tentu bisa mempunyai pendapat seperti dia serta aku
percaya... bahwa Mustaqim yang mempunyai pendapat tadi tidak main – main dengan
pendapatnya itu dan aku yakin sebelumnya pendapat itu sudah dipikirkan dengan
baik – baik sehingga pendapat tadi mempunyai alasan yang logis sehingga hal itu
bisa saya bawa ke rapat evaluasi nanti, silahkan Mustaqim apa alasan dari pendapatmu
tadi....”. kata – kata ustadz Tamam tadi membuat kepala murid – muridnya
terangguk – angguk dan kini mata mereka memandang Mustaqim dengan penuh rasa
penasaran apa yang akan di ucapkannya atas permintaan ustadz Tamam tadi.
Mustaqim yang merasa di awasi terlihat santai – santai saja, setelah memperbaiki
posisi duduknya lalu dia mengambil ancang – ancang untuk berbicara.
“ he...begini ustadz...., sebenarnya apa yang di katakan
teman – teman tadi itu benar, akan tetapi pandangan mereka itu hanya mengarah
pada diri wanita saja, yang di simbolkan sebagai pusatnya fitnah, racun
dunia dan sebagainya, dan arah dari pendapat saya tadi itu adalah bukan
hanya pada diri wanita saja melainkan juga pada peran wanita terhadap
lingkungannya, komunitasnya, organisasinya, negaranya bahkan Agamanya.
Sedangkan kita tahu wanita walaupun dia sebagai pribadi yang lemah dan
terbatang ruang geraknya dari pada laki – laki akan tetapi wanita juga
mempunyai peranan penting dalam kehidupan ini. Dan saya fikir kalau dalam kelas ini terdapat
siswinya maka Mat Samin yang ada di sana itu tidak akan berani lagi tidur atau
ngiler di kelas karena dia akan malu di lihat cewek – cewek, dan Januar yang
sok jago itu akan malu jika bertindak semenah – menah di hadapan para siswi,
serta Ibnu yang ada di pojok sana, dia sang penyair kesiangan tidak akan pernah
lagi berangkat kesekolah hanya dengan mencuci mukanya dengan air kran melainkan
dia akan mandi setiap berangkat kesekolah. Dan terkhir... perlu pak ustadz
ketahui saya yakin dengan hadirnya siswi di kelas ini kami pasti akan menjadi
murid – murid yang rajin....”
“iya rajin pacaran...tok” potong Jamal sehingga membuat
murid – murid tertawa dan ustadz Tamampun juga tersenyum kecil.
“hei...onta arab...tahu akhlak dong..., kalau orang
sedang berbicara itu jangan di potong...he..tak celup mukamu itu jadi putih
tahu rasa kamu.....” geram Mursyidi melihat perkataan temannya tadi di potong
begitu saja.
“sssst...sudah...sudah..sekarang aku sudah paham apa
maksud dari pendapat Mustaqim tadi, untuk sementara waktu aku fikirkan dulu dan
InsyaAllah aku akan ajukan nanti di rapat. Wallahu Ta’ala A’lam”.
Setelah berdo’a
seperti biasa akhirnya ustadz Tamam mengucapkan salam lalu dia meninggalkan
kelas dan di iringi siswa – siswanya yang aneh dan luar biasa itu. Di bilang
aneh karena usia mereka sudah melebihi usia anak kelas SMA atau MA melainkan
mereka bisa di katakan usia mereka sebenarnya usia mahasiswa atau sarjana S1,
di bilang luar biasa mereka sebenarnya mempunyai bakat dan potensi yang luar
biasa jika di kembangkan. Seperti Mustaqim si otak encer yang penuh dengan ide
– ide aneh, Mursyidi sipemberani yang selalu menentang arus, tidak peduli
berapa kali dia masuk BP dan mendapatkan peringatan tegas karena sering
terlambat, Jamaluddin, murid yang mempunyai julukan onta arab ini adalah murid
yang paling alim dan mulu’, dia tidak suka jika teman – temannya
membicarakan hal – hal yang berbau maksiat sehingga dia selalu sendiri dan
sering menghabiskan waktunya di congkop ataupun musholla, bahkan di
kelas dia duduk sendiri, sampai – sampai salah satu guru mengatakan bahwa
Jamaluddin ini sudah mencapai pada tingkatan maqom tajrid. Muhammad
Samin, badannya yang tambun seperti anak gajah sehingga dia mempunyai sifat
pemalas dan sering tidur dan ngiler di kelas, tapi kalau dia sedang sadar sikapnya begitu bijaksana, dia akan
berbicara seolah – olah dia adalah seorang sufi atau darwis yang
sedang memberikan nasihat pada murid – muridnya. Ibnul Waraqi, sang penyair atau
sastrawan kesiangan yang selalu menghabiskan waktunya dengan duduk berdiam
sendiri dan fikirannya akan mengkhayal kemana – mana, setelah itu dia akan
menulis sebuah sya’ir atau puisi ataupun cerita dari apa yang dia dapat dari
khayalannya itu, tapi sayang dia tidak pernah mandi ketika berangkat ke
sekolah, paling tidak dia akan mengusap mukanya yang habis tidur dengan air
lalu berangkat kesekolah tanpa merasa berdosa, menurut dia biar diri ini
menyatu dengan alam karena merias hidup di dunia ini adalah derita yang
berkepanjangan, hanya menyatu dengan alamlah kita bisa merasa damai dan
tentram. Itulah kata – kata yang sering di ucapkan Ibnu ketika ada teman atau
gurunya mengatakan dia bau seperti bau terasi gosong.
Rosi-Farobi